Aku tidak tahu memulainya dari mana. Apa yang akan aku
tulis saat ini saja aku belum memikirkan. Kamu, bantu aku untuk memulainya.
Mencari tahu juga kenapa kertas yang aku pegang ini masih kosong. Padahal,
besok adalah waktu dimana kertas ini harus sudah penuh dengan tinta. Bukan
hanya satu lembar kertas, tapi aku butuh tiga puluh lembar kertas untuk siap
bertinta.
Lima belas menit. Ya Tuhan, aku belum juga memulainya.
Lima belas menit seharusnya berharga untukku. Lima belas menit adalah waktuku
untuk melihat kertas kosong seperti fikiranku. Kapan aku menemukan mereka.
Suatu kata yang bersedia bekerja sama denganku. Bersiap menjadi partner yang
kompak bersamaku. Sekarang ini, aku akan coba mencari mereka.
Keberadaanku
disini telah kalian ketahui. Jangan coba mengusikku, karena aku akan lebih dulu
mengusikmu. Jangan coba menggangguku, karena aku akan lebih dulu mengganggumu.
Dan jangan coba sekali-kali mencari tahu tentangku, karena aku...
“Fera, kamu belum tidur? Mama mau cari handuk mama
yang ketinggalan dikamar mandi kamu” Suara itu reflek membuatku menyembunyikan
tulisanku. Kenpa aku menyembunyikannya?
“kamu kenapa belum tidur? sudah jam setengah sebelas.
Gag biasanya kamu belum tidur. masih mengerjakan tugas? Jangan terlalu malam
tidurnya” Belum aku selesai meneruskan kalimat dalam hatiku, suara itu terus
tersambung dengan kalimat-kalimatnya.
“cepet ya diselesaikan ! besok kamu sekolah, takutnya
susah bangun nanti telat. Cari aman saja biar gag dihukum” suara itu akhirnya
hilang seiring dengan tertutupnya pintu. Itu yang kuharapkan. Dari beberapa
pertanyaan, satupun belum sempat aku jawab. Kalau aku dikehidupanmu, mungkin
aku seperti anak yang tidak sopan dengan orang tua karena tidak menjawab
pertanyaannya. Tapi disini, kenyataannya aku bukan anak dari orangtua kalian.
Sudahlah tidak usah dijelaskan, seiringnya waktu kalian akan tahu. Mungkin ini
salah satu faktor penunjangku untuk menjadi seorang yang lebih pendiam.
Tiga puluh menit. Cepat sekali waktu berjalan. Masih setia
aku memandangi jendela kamarku yang terbuka. Sengaja kubuka karena aku merasa
malam ini terasa sangat gerah. Sejauh ini, semuanya terasa berbeda disana.
Dirumah yang berhadapan langsung dengan samping rumahku, lebih tepatnya
menghadap kamarku. Rumahku terletak di suatu gang menuju jalan raya. Hanya satu
rumah kecil dan Jalan raya saja yang menjadi pemisah dengan rumah itu. Terlihat
berbeda, mungkin karena aku hanya sering melihatnya saat siang.
Saling berpandangan. Aku hanya beimajinasi saja. Tapi
apakah imajinasi itu sejelas kenyataan. Aku melihatnya seperti nyata. Seorang
wanita yang duduk sepertiku dari dalam jendela. Jika aku sedang melihat cermin,
mungkin itu adalah aku didalam cermin.
Penasaran. Seketika aku ingat ucapan-ucapan mereka
yang sering aku dengar. Jangan melihat rumah itu saat malam. Yang mereka maksud
adalah rumah yang saat ini aku lihat. Aku sering bertanya kenapa, jawaban
mereka kompak, ‘kata mamaku, di rumah itu ada seorang penulis perempuan yang
dibunuh’. Jawabanku juga akan sama persis dengan mereka jika kalian menanyakannya.
Alasan dibunuh pun sempat kutanyakan, tapi hening, tidak ada yang menjawab.
Entah karena mendadak takut, atau memang mendadak cerita itu adalah fiksi
belaka.
S
“hay Kham, kenapa tiba-tiba terobsesi dengan novel
horor?”
“mmm.... horor?”
“udahlah, tu..” Erika menunjuk sebuah buku yang baru
saja pindah tempat dari tangan Irkham menuju suatu persembunyian.
“hehe..mmm, ini?” muncul juga buku itu dari
persembunyiannya. “enggak, cuma iseng aja”
“jangan bilang kamu sekarang jadi terobsesi dengan
horor-horor yang gag jelas”
“siapa bilang horor gag jelas? Apa bedanya juga sama
novel-novel yang setiap hari kamu baca. Itu juga sama-sama gag jelas” sergah
Ria yang dari tadi ada rak buku bagian Horor Fiksi.”bagaimana kalau yang ini saja
Kham, setan di kamar mandi” sambil menunjkkan buku yang sekarang ada ditangannya.
“ach, sudah biasa” giliran Erika yang berpendapat.
Tik tak tik tak...
Jam dinding di perpustakaan sudah
menunjukkan Pukul 13.25. Itu artinya lima menit lagi bel pulang sekolah akan
terdengar. Irkham sengaja tidak kembali kekelas saat jam terakhir. Jam kosong
adalah alasannya saat ditanya penjaga perpustakaan. Dia lebih tertarik berdiam
diri sambil memandangi satu-persatu buku yang ada dirak daripada harus
memandangi bukunya sendiri yang harus dikeluarkan dari dalam tasnya.
Lima menit berlalu. Suara itu
akhirnya terdengar. Memperlihatkan tontonan para siswa berlalu-lalang
meninggalkan tempatnya. Memang masih ada yang memilih berdiam dari tempatnya.
Jam tambahan atau sekedar hanya mengucapkan paragraf demi paragraf yang
disambung dengan yang lain, merupakan faktor mengapa ditempat ini masih
menyenangkan. Tapi bukan dengan Irkham.
S
Satu jam. Aku masih duduk tanpa
sadar. Apakah ada yang salah dengan penglihatanku. Atau karena kesalahan
penglihatanku, semua yang semula imajinasi mendadak menjadi nyata. Ach,,waktuku
terbuang sia-sia hanya untuk ini.
Fera,Fera,Fera. Dimana inspirasimu yang dulu selalu
ada. Apa ini akibatnya jika inspirasi yang mudah hadir tak dimanfaatkan dan
akhirnya, inspirasi bosan dengan kita karena merasa tak dianggap. Mama, ini
salahmu jika itu benar. Kenapa kamu membuatku mengkhianati inspirasiku.
Padahal, apa salahnya jika Inspirasi ini untuk sebuah cita-citaku.
Sekarang, aku hanya diam disini tanpa melakukan apa-apa.
Inspirasi, maafkan aku. Sekarang aku butuh bantuanmu. Mama, ini bukan alasan
yang tepat. Hanya karena seseorang disana yang mempunyai prestasi lebih
sekarang mati dibunuh temannya yang sama-sama mempunyai title penulis. Aku bukan
mereka. Jika mama takut aku akan seperti dia yang mati. Bisakah mama percaya
bahwa aku akan menjadi dia yang hidup.
Masih ingatkah kalian kenapa aku menyembunyikan
tulisanku dari mama. Itu hanya untuk menghindari waktuku terbuang lebih banyak.
Menghindari kalimat-kalimat yang tak bisa ditembus
untuk diberhentikan. Berlagak menjadi pendengar setia padahal aku hanya pendengar yang munafik.
untuk diberhentikan. Berlagak menjadi pendengar setia padahal aku hanya pendengar yang munafik.
S
“Agung, maaf, Aku mendadak ada urusan sebentar. Kamu
bisa kan beli bukunya sendirian. Atau besok saja, mungkin aku bisa”
“Yahh, Kham. Kamu sebenarnya sudah janji kemarin. Okelah, aku bisa sendiri” suara diseberang sana sedikit terdengar kecewa. “kalau boleh tahu, memangnya kamu ada urusan apa sich? Lebih penting ya daripada aku?” masih meneruskan kalimatnya ditelepon.
“mmm...aku tadi ditelfon ibu disuruh cepat-cepat
pulang. Maaf ya Gung” Irkham sedikit berbohong.
Perjalanannya memang sedikit dibuat terburu-buru. Karena dia yakin, disekitarnya pasti ada seseorang yang mengintainya. Ini sudah resiko yang dia pilih. Membohongi seseorang yang tidak
mudah untuk dibohongi.
Membuka pintu, masuk didalam sebuah ruangan yang
istimewa. Kamar. Disinilah dia lebih banyak menghabiskan waktunya. Sekedar
untuk bersantai ataupun bekerjasama dengan rumus-rumus yang membosankan
dibukunya. Dan itu terpaksa.
Membuka tas. Sebuah novel horor yang dia dapat dari
perpustakaan. Cukup menyita perhatiannya. Buku itu dia dapat dirak paling bawah
dan tersembunyi. Awalnya Irkham ragu untuk membukanya. Tapi entah apa yang dia
lihat dari buku itu. Seorang yang bisa dinobatkan anti horor mendadak tertarik
dengan novel horor.
S
Satu setengah jam lewat. Jam 12 tepat. Istirahatlah,
aku akan meneruskannya nanti. Mataku sudah terlanjur perih. Tanganku juga sudah
terlanjur lelah. Menunggu saat tubuhku kembali siap.
Perlahan mataku terpejam. Melihat suatu kegelapan yang
harus ditembus. Belum bisa. Aku belum bisa menembusnya. Kalimat demi kalimat
yang terucap menjadi sebuah do’a belum cukup untuk menembusnya. Mendengarkan
alunan nada pengantar tidurpun juga tidak mempan dengan kegelapan. Seharusnya
aku merasa terang dalam gelap.
Kembali pada posisi semula. Kelelahanku bukan berarti
apa-apa. Kenapa harus ada lelah jika lelah tak mampu mengantarkan pada suatu peristirahatan.
Oke,aku mencoba memulainya lagi. Mengambil kertas yang sempat kututupi dengan
buku. Mengambil pensil yang sempat kutempatkan ditempatnya. Mulailah mencari
mereka. Sebuah kata demi menjadi kalimat dalam paragraf pada wacana yang
kemudian dirangkai untuk menjadi sebuah judul.
Aneh. Rasanya aku lebih tertarik melihat diluar
jendela kamarku yang gelap daripada harus melihat kertas yang sebenarnya lebih
menarik. Ada gambar-gambar yang menghiasi kertas. Sengaja aku pilih agar lebih
tertarik melihatnya. Tapi, gambar-gambar lucu ini kalah dengan pemandangan
diluar sana.
Hitam, coklat, atau apalah itu. Masih ada putih
disana. Cerminan itu, Astaga, dia masih menginginkanku untuk melihatnya. Kali
ini, aku akan menghilangkan penasaranku.
“s si a pa?” meski dengan nada yang seperti mengeja,
bukan dengan suara yang keras dan lantang. Aku hanya menggunakan suara yang
halus dan semoga hanya aku yang menedengarnya disini. Tapi berharap dia yang
disana tahu maksudku.
Angin berhembus. Membawa sebuah jawaban dan terasa
membisikiku.
“kau kesepian? Bagaimana mungkin? Bukankah kau
mempunyai banyak teman disana. Aku dengar kau selalu menjadikan orang-orang
yang mengunjungi rumahmu sebagai teman-temanmu.” Angin, sampaikan pertanyaanku
ini kepadanya.
“Aku berusaha menjadi teman yang selalu baik untuk
temanku. Tapi maaf, aku bukan teman yang baik untukmu.” Komunikasi ini, aku
ingin selesai. Angin, sampaikan padanya, katakan padanya bahwa dia jangan
memandangiku. Jangan membuatku penasaran dengannya. Aku ingin tidur. Tidur
nyenyak sampai esok mama membangunkanku.
Hembusan angin menyapaku. Aku berbalik menyapanya
dengan mengikuti arahnya. Dibukakannya aku pintu, mengizinkanku masuk begitu
saja sebelum aku memintanya. Dengan kaki yang terasa berat, entah kenapa
bisikan untuk terus mengikutinya terasa lebih kuat dibanding kakiku.
Rapi tapi kotor. Debu disini memang tak terlihat.
Gelap, mana bisa aku melihat debu. Aku hanya menciumnya. Kursi dan meja diruang
tamu tertata rapi, pendapat itu aku temukan disebuah bayangan. Masih dengan
kegelapan. Aku sekarang menemukan dia.
Duduk dengan posisi yang masih sama seperti saat
memandangku. Aku yang merasa berbeda. Hanya terasa lebih dekat. Bukan hanya
terasa, tapi memang dua langkah kaki lagi yang menjadi jarak antara aku dan
dia. Tanpa sadar, sekarang aku berdiri dihadapan seseorang yang sama sekali tak
pernah kuketahui asal-usulnya. Sempat berfikir kenapa aku sampai ditempat yang
tadi hanya bisa kulihat seperti bayangan. Mungkin aku sedang terlelap didalam
mimpi. Ilusi-ilusi yang terjadi sebelum aku mimpi mungkin juga terbawa disini,
didalam mimpi.
Tersenyum. Dia tersenyum denganku dengan menunjukkan
muka pucatnya yang melebihi kepucatanku saat aku sakit. Memasang muka yang
memelas melebihi aku yang tidak dituruti keinginanku dari mama. Mengenakan
pakaian yang kotor dan hampir mendekati pakaian yang menjijikan. Sekali lagi
yang ini melebihi pakaian manusia yang kemaren lewat didepan sekolahku dan
hampir semua siswa yang melihatnya pasti berpendapat bahwa dia adalah manusia
yang sudah satu tahun kehilangan kewarasannya.
Disudut ruangan hampir semua terlihat ada sebuah
bayangan. Duduk berdiam diri seperti tersudut. Menutupi wajahnya dengan
kumpulan helai rambutnya. Bebas meski
lebih terlihat seperti terperangkap. Bisa aku simpulkan, mereka yang tersudut
dibalik sudut ruangan yang bebas ternyata terperangkap dengan sebuah kenyataan
yang tak diinginkan.
“siapa? Kenapa mereka? Dan kenapa aku?” akhirnya,
mulutku yang tadi tidak bisa digerakkan karena melihat fenomena seperti ini
mampu untuk digerakkan kembali.
“seperti kesimpulanmu. Mereka yang tersudut dibalik
sudut ruangan yang bebas ternyata terperangkap dengan sebuah kenyataan yang tak
pernah mereka inginkan. Dan aku adalah
seseorang yang membuat mereka tidak menginginkan sebuah kenyataan itu. Dan
kenapa kamu berada disini? ditempat yang sama, didalam satu ruangan yang sama,
berarti menginginkan suatu kesamaan yang lain. Sama seperti mereka” Hening. Ada
perbedaan dengan sebelum aku bermimpi. Pertanyaanku dijawabnya bukan dari
hembusan angin.
“apa maksudmu sama?”
“sama seperti mereka” mungkin dia adalah seseorang
yang misterius dengan kata-kata yang misterius pula.
Berfikir sejenak. Aku mencoba mencermati kata-katanya
yang sempat tak ku pahami. Ada sedikit keraguan dengan perasaanku. Aku ingin
tenang dan mengingatkan diriku sendiri bahwa ini hanya didalam mimpi. Tapi
firasat membuyarkan semua. Firasat lebih menginginkan bahwa ini bukan mimpi.
“aku tidak akan sama seperti mereka. Ini sebuah mimpi.
Tenang saja, aku akan bangun dari tidurku dan tidak akan mengganggumu”
“jika ini bukan dalam sebuah mimpi?”
“aku akan mengucapkan kalimat-kalimat yang berarti doa
untuk menghilangkan kamu didalam mimpiku”
“jika ini bukan dalam sebuah mimpi?”
“tenang saja, setelah aku megucapkan kalimat-kalimat
doa maka kamu akan hilang dan aku terbangun dari mimpiku”
“jika ini bukan dalam sebuah mimpi?”
“aku...” hilang kata-kataku. Tak bisa menjawab lagi
dan sepertinya firasatku lebih benar dibanding perasaan yang kuinginkan.
“aku... aku akan berterima kasih kepada anda yang sudah mengingatkanku bahwa
ini bukan mimpi. Tapi aku tetap ingin ini menjadi mimpi. Mimpi karena sampai
saat ini aku belum mengerti. Belum mengerti kenapa aku bisa sampai disuatu
ruangan aneh yang belum pernah aku temui. Menemui mereka-mereka yang belum
pernah aku temukan didunia nyataku. Dan bisakah kamu menjawabnya sebelum mataku
tertutup untuk yang terakhir kalinya?”
S
“Irkham? Sudah malam kok belum tidur? besok kan kamu
sekolah, nanti telat bagaimana?” Mama Irkham yang dari tadi sudah didepan pintu
tidak disadari keberadaannya oleh Irkham.
“Iya ma, ini Irkham juga mau tidur” Sambil merapikan meja
belajar yang sempat diacak-acaknya untuk
bermain dengan rumus kemarin kini sudah terlihat rapi. Meletakkan buku
yang daritadi dipegangnya dirak buku dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur
sekedar menghilangkan capek yang dirasanya setelah membaca buku. Dan itu baru
dia sadari sekarang.
Kalimat demi kalimat yang terucap menjadi sebuah do’a.
Mendengarkan alunan nada pengantar tidur. Ritual yang dilakukan ketika mimpi
belum mau untuk menemuinya. Ketika mata membuka kembali sebuah bayangan
tersenyum untuknya. Berdiri menyapa diiringi angin yang berhembus
mengisyaratkan bahwa dia datang. Pemilik barang yang menyita perhatiannya.
“aku tidak akan sama seperti kamu” Perlahan bayangan
itu hilang seiring angin yang tadinya berhembus kini telah hilang.
Masih dalam posisi tidurnya, Irkham kembali mendapati
novel itu dirak bukunya. Halaman akhir yang belum sempat dibacanya.
.........Keberadaanku disini telah
kalian ketahui. Jangan coba mengusikku, karena aku akan lebih dulu mengusikmu.
Jangan coba menggangguku, karena aku akan lebih dulu mengganggumu. Dan jangan
coba sekali-kali mencari tahu tentangku, karena aku telah hilang. Buku ini
menjadi saksi jika aku pernah ada. Pernah ada didalam dunia nyata.